Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 87830141747

Email

prodiiqt@iainmadura.ac.id

HUBUNGAN RASM ‘UṠMĀNĬ DAN VARIASI  BACAAN (QIRAAT)

  • Diposting Oleh Admin Web IQT
  • Kamis, 29 Agustus 2024
  • Dilihat 288 Kali
Bagikan ke

 

Oleh: Imroatul Hasanah

 

Secara bahasa, lafaz qiraat adalah bentuk jamak dari lafaz qirāˊah yang merupakan bentuk masdar dari lafaz qaraˊa-yaqraˊu-qirāˊah yang mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun Secara istilah, pengertian qiraat adalah ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur'an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal secara mutawatir.

Penamaan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan nama Al-Qur’an menandakan bahwa Al-Qur’an akan dibaca dan dibacakan dan penamaan Al-Qur’an dengan nama kitab menandakan bahwa Al-Qur’an akan ditulis dan dikumpulkan, dan kedua hal itu menjadi nyata bahwa Al-Qur’an dan kitab benar-benar dibaca dan ditulis pada masa Nabi saw. Mushaf-mushaf yang ada pada umat Islam sangat banyak sehingga tidak dapat dihitung begitu pula dengan para hafiz dan qurrā’.

Pentingnya mushaf tidak diremehkan oleh para ulama dengan mengatakan bahwa dasar belajar Al-Qur’an adalah lisan dan bacaan, dan  mereka berkata “ketergantungan dalam mentransfer bacaan Al-Qur’an adalah pada hafalan hati dan dada bukan pada mushaf dan kitab-kitab.” Seandainya bukan karena pentingnya menulis, Rasulullah saw. tidak akan pernah memerintahkan penulisan Al-Qur’an dan para khalifah tidak akan tertarik untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf dan tidak pula menyalinnya serta mendistribusikannya ke berbagai tempat.

Demikian pula ulama salaf mengatakan “jangan mengambil Al-Qur’an dari mushaf atau ilmu dari mushaf”, hal itu sebagai maksud seruan agar penerimaan lisan merupakan cara untuk menguasai lafadz, tajwid serta kekhawatiran kesalahan dalam membaca mushaf, dengan alasan ketidak sesuaian penulisan dengan bacaan. Mengenai mengumpulkan kaidah penulisan Al-Qur’an para ulama membagi dalam enam bab, yang hal itu merupakan tambahan dari kaidah lima sebelumnya, antara lain: ḥażfu, ziyādah, badal, hamza, fuá¹£ul, dan waá¹£al. Kaidah tersebut berisi aturan bacaan dan tulisan.

Lafaz-lafaz dalam Rasm ‘Uá¹£mānÄ­ yang Mengakomodasi Perbedaan Qiraat

Secara garis besar penurunan Al-Qur’an dalam "tujuh huruf” adalah sebagai despensasi Rasulullah saw. yang diberikan dalam membaca Al-Qur'an lebih dari satu huruf untuk memberikan kemudahan kepada umat Islam dalam membaca kitab suci, sehingga tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar dilafalkan. Meski demikian, yang dimaksud dengan sab'atu ahruf masih diperdebatkan. Menurut Ibn al-Jaziri tujuh huruf adalah tujuh dalam cara membaca Al-Qur’an. Meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu tegasnya kembali kepada yang tujuh. Pendapat ini juga di dukung oleh al-Zarqani. Ketujuh perbedaan cara membaca Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:

  1. Perbedaan bentuk kata benda (ikhtilāf al-Asmā'); tunggal, dua, jamak, dan lain-lain, seperti kata لِاَ مٰنٰتِهِمْ yang terdapat dalam surah Al-Mu'minūn ayat 8, boleh dibaca لِاَ مٰنٰتِهِمْ dalam bentuk jamak atau لِاَ مٰنَتِهِمْ dalam bentuk tunggal.
  2. Perbedaan morfologi kata (tasrif), seperti kata kerja dari masa lampau (fi’il māḍi) menjadi masa sekarang dan juga masa yang akan datang (fi’il muḍāri’) dan kata perintah (fi’il amar), seperti kata  بٰعِدْ (bentuk fi’il amar) dalam surah Sabā' ayat 19 atau boleh dibaca بٰعَدَ (bentuk fi’il māḍi).
  3. Perbedaan sintaksis kata (ikhtilaf wujuh al-i'rab) dalam surah Saba' ayat 17 boleh dibaca هَلْ نُـجٰزِيْۤ اِلَّا الْـكَفُوْرَ atau يُجٰزَى اِلَّا الْـكَفُوْرُ. Dalam bacaan pertama, الْـكَفُوْرَ berfungsi sebagai objek dari kata نُـجٰزِيْۤ, sementara dalam bacaan kedua berfungsi sebagai naibul fail dari kata kerja  يُجٰزَى.
  4. Perbedaan yang disebabkan penambahan (ziyadah) dan pengurangan (naqs) dalam menggunakan kata, seperti وَمَا عَمِلَـتْهُ اَيْدِيْهِمْ dalam surah Yāsin ayat 35, juga dapat dibaca وَمَا عَمِلَـتْ اَيْدِيْهِمْ dengan mengurangi huruf ه.
  5. Perbedaan dikarenakan kepentingan untuk mendahulukan dan mengakhirkan dalam penempatan suatu kata seperti dalam surah Qaf ayat 19 وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِا لْحَـقِّ dapat dibaca وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ بِا لْمَوْتِ.
  6. Perbedaan karena pergantian suatu kata seperti نُـنْشِزُهَا dalam surah Al-Baqarah ayat 259, dapat dibaca نُـنْشِرُهَا.
  7. Perbedaan dialek (lahjah) semisal baris atas ( َ ), imalah, bacaan tafkhim (tebal) serta tarqiq (tipis), idgham, dan lain-lain, seperti هَلْ اَتٰٮكَ حَدِيْثُ مُوْسٰى dalam surah An-Nazi'at ayat 15 dapat dibaca secara imalah pada kata اَتٰى.

Perbedaan Qiraat Berdampak dan Tidak Berdampak pada Perbedaan Hukum

  1. Perbedaan Qiraat Berdampak pada Perbedaan Hukum

Qiraat bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum, namun perbedaan qiraat ada yang berpengaruh besar terhadap produk hukum, dan inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya mazhab atau aliran dalam Islam. Berikut beberapa contoh perbedaan qiraat yang berdampak pada perbedaan hukum dalam Al-Qur'an adalah:

  1. Lafaz أَوْلٰمَسْتُمُ النساء dalam surah An-Nisāˊ ayat 43, Ḥamzah dan al-Kisāˊĭ membacanya dengan memendekkan bacaan Ù„, sementara Nāfi‘, Ibnu Kaṡĭr, Abu ‘Amr, ‘Āṣim, dan Ibn ‘Ä€mir membacanya dengan memanjangkan bacaan Ù„. Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat tersebut, pada umumnya ulama fikih terbagi dalam dua kelompok. Pertama, cenderung kepada qiraat لَمَسْتُمُ (memendekkan bacaan Ù„) lalu mereka menetapkan hukum, bahwa yang dimaksud: asal bersentuhan kulit laki-laki dan wanita secara langsung tanpa batas, maka wudunya batal dari masing-masing pihak, pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Syafii. Kedua, cenderung kepada qiraat لٰمَسْتُمُ (dengan memanjangkan bacaan Ù„) lalu mereka menetapkan bahwa yang dimaksud dengan لٰمَسْتُمُ dalam ayat itu ialah jimak; artinya, baru batal wudu jika pria dan wanita melakukan jimak. Pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Hanafi.
  2. Lafaz وَأَرْجُلَكُمْ dalam surah Al-Māidah ayat 6, Ibnu Kaṡĭr, Abu ‘Amr, dan Ḥamzah membacanya dengan mengasrahkan huruf Ù„ karena diatafkan pada lafaz بِرُؤْسِكُمْ, sementara Nāfi‘, al-Kisāˊĭ, Ibn ‘Ä€mir, dan Ḥafaá¹£ membaca huruf Ù„ dengan harkat fathah karena diatafkan pada lafaz وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ. Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat tersebut, pada umumnya terbagi dalam dua kelompok. Pertama, cenderung kepada qiraat وَأَرْجُلِكُمْ mereka menetapkan hukum bahwa dalam berwudu, kaki cukup diusap tanpa dibasuh, pendapat ini diikuti oleh Siah Imamiyah. Kedua, cenderung kepada qiraat وَأَرْجُلَكُمْ mereka menetapkan hukum bahwa dalam berwudu, kaki wajib dibasuh dan tidak sah jika hanya diusap, pendapat ini dianut oleh jumhur ulama fikih dalam empat mazhab.
  1. Perbedaan Qiraat tidak Berdampak pada Perbedaan Hukum

Selain perbedaan qiraat yang berdampak pada perbedaan hukum seperti yang telah dijelaskan di atas, ada juga perbedaan qiraat yang tidak berdampak pada perbedaan hukum, berikut salah satu contohnya:

  1. Lafaz مِن قَبْلِ Ø£ÙŽÙ† تَمَسُّوهُنَّ dalam surah Al-Aḥzāb ayat 49, dalam lafaz tersebut terdapat perbedaan bacaan pada lafaz تَمَسُّوهُنَّ. Ibnu Kaṡĭr, Nāfi‘, Abu ‘Amr, Ibn ‘Ä€mir, dan ‘Āṣim membaca lafaz تَمَسُّوهُنَّ sesuai dengan yang ada dalam Al-Qur’an, sementara Ḥamzah dan al-Kisāˊĭ membacanya dengan lafaz تَمَاسُّوْهُنَّ (memanjangkan huruf Ù…ÙŽ). Perbedaan qiraat tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam perbedaan hukum.
  2. Lafaz مِن عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَا dalam surah Al-Aḥzāb ayat 49, dalam lafaz tersebut terdapat perbedaan bacaan pada lafaz تَعْتَدُّوْنَهَا. Ibn ‘Ä€mir membaca lafaz تَعْتَدُّوْنَهَا, sementara Ibnu Kaṡĭr, Nāfi‘, Abu ‘Amr, ‘Āṣim, Ḥamzah dan al-Kisāˊĭ membacanya dengan lafaz تَعْتَدُونَهَا.