HUBUNGAN RASM ‘UṠMĀNĬ DAN VARIASI BACAAN (QIRAAT)
- Diposting Oleh Admin Web IQT
- Kamis, 29 Agustus 2024
- Dilihat 288 Kali
Oleh: Imroatul Hasanah
Secara bahasa, lafaz qiraat adalah bentuk jamak dari lafaz qirÄËŠah yang merupakan bentuk masdar dari lafaz qaraËŠa-yaqraËŠu-qirÄËŠah yang mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun Secara istilah, pengertian qiraat adalah ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur'an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal secara mutawatir.
Penamaan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan nama Al-Qur’an menandakan bahwa Al-Qur’an akan dibaca dan dibacakan dan penamaan Al-Qur’an dengan nama kitab menandakan bahwa Al-Qur’an akan ditulis dan dikumpulkan, dan kedua hal itu menjadi nyata bahwa Al-Qur’an dan kitab benar-benar dibaca dan ditulis pada masa Nabi saw. Mushaf-mushaf yang ada pada umat Islam sangat banyak sehingga tidak dapat dihitung begitu pula dengan para hafiz dan qurrÄ’.
Pentingnya mushaf tidak diremehkan oleh para ulama dengan mengatakan bahwa dasar belajar Al-Qur’an adalah lisan dan bacaan, dan mereka berkata “ketergantungan dalam mentransfer bacaan Al-Qur’an adalah pada hafalan hati dan dada bukan pada mushaf dan kitab-kitab.” Seandainya bukan karena pentingnya menulis, Rasulullah saw. tidak akan pernah memerintahkan penulisan Al-Qur’an dan para khalifah tidak akan tertarik untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf dan tidak pula menyalinnya serta mendistribusikannya ke berbagai tempat.
Demikian pula ulama salaf mengatakan “jangan mengambil Al-Qur’an dari mushaf atau ilmu dari mushaf”, hal itu sebagai maksud seruan agar penerimaan lisan merupakan cara untuk menguasai lafadz, tajwid serta kekhawatiran kesalahan dalam membaca mushaf, dengan alasan ketidak sesuaian penulisan dengan bacaan. Mengenai mengumpulkan kaidah penulisan Al-Qur’an para ulama membagi dalam enam bab, yang hal itu merupakan tambahan dari kaidah lima sebelumnya, antara lain: ḥażfu, ziyÄdah, badal, hamza, fuá¹£ul, dan waá¹£al. Kaidah tersebut berisi aturan bacaan dan tulisan.
Lafaz-lafaz dalam Rasm ‘Uá¹£mÄnÄ yang Mengakomodasi Perbedaan Qiraat
Secara garis besar penurunan Al-Qur’an dalam "tujuh huruf” adalah sebagai despensasi Rasulullah saw. yang diberikan dalam membaca Al-Qur'an lebih dari satu huruf untuk memberikan kemudahan kepada umat Islam dalam membaca kitab suci, sehingga tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar dilafalkan. Meski demikian, yang dimaksud dengan sab'atu ahruf masih diperdebatkan. Menurut Ibn al-Jaziri tujuh huruf adalah tujuh dalam cara membaca Al-Qur’an. Meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh macam, namun semua perbedaan itu tegasnya kembali kepada yang tujuh. Pendapat ini juga di dukung oleh al-Zarqani. Ketujuh perbedaan cara membaca Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
- Perbedaan bentuk kata benda (ikhtilÄf al-AsmÄ'); tunggal, dua, jamak, dan lain-lain, seperti kata Ù„Ùاَ مٰنٰتÙÙ‡Ùمْ yang terdapat dalam surah Al-Mu'minÅ«n ayat 8, boleh dibaca Ù„Ùاَ مٰنٰتÙÙ‡Ùمْ dalam bentuk jamak atau Ù„Ùاَ مٰنَتÙÙ‡Ùمْ dalam bentuk tunggal.
- Perbedaan morfologi kata (tasrif), seperti kata kerja dari masa lampau (fi’il mÄá¸i) menjadi masa sekarang dan juga masa yang akan datang (fi’il muá¸Äri’) dan kata perintah (fi’il amar), seperti kata بٰعÙدْ (bentuk fi’il amar) dalam surah SabÄ' ayat 19 atau boleh dibaca بٰعَدَ (bentuk fi’il mÄá¸i).
- Perbedaan sintaksis kata (ikhtilaf wujuh al-i'rab) dalam surah Saba' ayat 17 boleh dibaca هَلْ Ù†ÙـجٰزÙيْۤ اÙلَّا الْـكَÙÙوْرَ atau ÙŠÙجٰزَى اÙلَّا الْـكَÙÙوْرÙ. Dalam bacaan pertama, الْـكَÙÙوْرَ berfungsi sebagai objek dari kata Ù†ÙـجٰزÙيْۤ, sementara dalam bacaan kedua berfungsi sebagai naibul fail dari kata kerja ÙŠÙجٰزَى.
- Perbedaan yang disebabkan penambahan (ziyadah) dan pengurangan (naqs) dalam menggunakan kata, seperti وَمَا عَمÙلَـتْه٠اَيْدÙيْهÙمْ dalam surah YÄsin ayat 35, juga dapat dibaca وَمَا عَمÙلَـتْ اَيْدÙيْهÙمْ dengan mengurangi huruf Ù‡.
- Perbedaan dikarenakan kepentingan untuk mendahulukan dan mengakhirkan dalam penempatan suatu kata seperti dalam surah Qaf ayat 19 ÙˆÙŽ جَآءَتْ سَكْرَة٠الْمَوْت٠بÙا لْØَـقّ٠dapat dibaca ÙˆÙŽ جَآءَتْ سَكْرَة٠الْØَقّ٠بÙا لْمَوْتÙ.
- Perbedaan karena pergantian suatu kata seperti Ù†ÙـنْشÙزÙهَا dalam surah Al-Baqarah ayat 259, dapat dibaca Ù†ÙـنْشÙرÙهَا.
- Perbedaan dialek (lahjah) semisal baris atas ( ÙŽ ), imalah, bacaan tafkhim (tebal) serta tarqiq (tipis), idgham, dan lain-lain, seperti هَلْ اَتٰٮكَ ØَدÙيْث٠مÙوْسٰى dalam surah An-Nazi'at ayat 15 dapat dibaca secara imalah pada kata اَتٰى.
Perbedaan Qiraat Berdampak dan Tidak Berdampak pada Perbedaan Hukum
- Perbedaan Qiraat Berdampak pada Perbedaan Hukum
Qiraat bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum, namun perbedaan qiraat ada yang berpengaruh besar terhadap produk hukum, dan inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya mazhab atau aliran dalam Islam. Berikut beberapa contoh perbedaan qiraat yang berdampak pada perbedaan hukum dalam Al-Qur'an adalah:
- Lafaz أَوْلٰمَسْتÙم٠النساء dalam surah An-NisÄËŠ ayat 43, Ḥamzah dan al-KisÄËŠÄ membacanya dengan memendekkan bacaan Ù„, sementara NÄfi‘, Ibnu KaṡÄr, Abu ‘Amr, ‘Āṣim, dan Ibn ‘Ä€mir membacanya dengan memanjangkan bacaan Ù„. Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat tersebut, pada umumnya ulama fikih terbagi dalam dua kelompok. Pertama, cenderung kepada qiraat لَمَسْتÙÙ…Ù (memendekkan bacaan Ù„) lalu mereka menetapkan hukum, bahwa yang dimaksud: asal bersentuhan kulit laki-laki dan wanita secara langsung tanpa batas, maka wudunya batal dari masing-masing pihak, pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Syafii. Kedua, cenderung kepada qiraat لٰمَسْتÙÙ…Ù (dengan memanjangkan bacaan Ù„) lalu mereka menetapkan bahwa yang dimaksud dengan لٰمَسْتÙÙ…Ù dalam ayat itu ialah jimak; artinya, baru batal wudu jika pria dan wanita melakukan jimak. Pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Hanafi.
- Lafaz وَأَرْجÙÙ„ÙŽÙƒÙمْ dalam surah Al-MÄidah ayat 6, Ibnu KaṡÄr, Abu ‘Amr, dan Ḥamzah membacanya dengan mengasrahkan huruf Ù„ karena diatafkan pada lafaz بÙرÙؤْسÙÙƒÙمْ, sementara NÄfi‘, al-KisÄËŠÄ, Ibn ‘Ä€mir, dan Ḥafaá¹£ membaca huruf Ù„ dengan harkat fathah karena diatafkan pada lafaz ÙˆÙجÙوْهَكÙمْ وَأَيْدÙÙŠÙŽÙƒÙمْ. Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat tersebut, pada umumnya terbagi dalam dua kelompok. Pertama, cenderung kepada qiraat وَأَرْجÙÙ„ÙÙƒÙمْ mereka menetapkan hukum bahwa dalam berwudu, kaki cukup diusap tanpa dibasuh, pendapat ini diikuti oleh Siah Imamiyah. Kedua, cenderung kepada qiraat وَأَرْجÙÙ„ÙŽÙƒÙمْ mereka menetapkan hukum bahwa dalam berwudu, kaki wajib dibasuh dan tidak sah jika hanya diusap, pendapat ini dianut oleh jumhur ulama fikih dalam empat mazhab.
- Perbedaan Qiraat tidak Berdampak pada Perbedaan Hukum
Selain perbedaan qiraat yang berdampak pada perbedaan hukum seperti yang telah dijelaskan di atas, ada juga perbedaan qiraat yang tidak berdampak pada perbedaan hukum, berikut salah satu contohnya:
- Lafaz Ù…ÙÙ† قَبْل٠أَن تَمَسّÙوهÙنَّ dalam surah Al-AḥzÄb ayat 49, dalam lafaz tersebut terdapat perbedaan bacaan pada lafaz تَمَسّÙوهÙنَّ. Ibnu KaṡÄr, NÄfi‘, Abu ‘Amr, Ibn ‘Ä€mir, dan ‘Āṣim membaca lafaz تَمَسّÙوهÙنَّ sesuai dengan yang ada dalam Al-Qur’an, sementara Ḥamzah dan al-KisÄËŠÄ membacanya dengan lafaz تَمَاسّÙوْهÙنَّ (memanjangkan huruf Ù…ÙŽ). Perbedaan qiraat tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam perbedaan hukum.
- Lafaz Ù…ÙÙ† عÙدَّة٠تَعْتَدّÙوْنَهَا dalam surah Al-AḥzÄb ayat 49, dalam lafaz tersebut terdapat perbedaan bacaan pada lafaz تَعْتَدّÙوْنَهَا. Ibn ‘Ä€mir membaca lafaz تَعْتَدّÙوْنَهَا, sementara Ibnu KaṡÄr, NÄfi‘, Abu ‘Amr, ‘Āṣim, Ḥamzah dan al-KisÄËŠÄ membacanya dengan lafaz تَعْتَدÙونَهَا.