Pengaruh Tafsir Linguistik Al-Qur’an dan Hadis dalam Pembentukan Kerangka Hukum Fikih
- Diposting Oleh Admin Web IQT
- Kamis, 5 Juni 2025
- Dilihat 60 Kali
Ditulis oleh: M Khofifurrohman
(NIM 24384011017 Mahasiswa Prodi IQT Angkatan 2024)
Ilmu fikih sebagai hasil pemahaman terhadap nas syar'i tidak dapat dilepaskan dari metode tafsir linguistik. Perbedaan dalam penafsiran makna kata, struktur kalimat, dan fungsi huruf dalam ayat Al-Qur’an atau hadis memiliki pengaruh langsung terhadap kerangka dan produk hukum fikih. Tafsir linguistik merupakan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an yang berfokus pada analisis kebahasaan (manhaj lughawi). Pendekatan ini menitikberatkan pada kajian bahasa Arab, mencakup aspek morfologi (tashrif), sintaksis (nahu), semantik (makna), dan stilistika (uslub), guna menggali dan memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih mendalam. Ulama Ushul dan Fuqaha sejak awal telah menyadari betapa vitalnya pendekatan kebahasaan dalam menggali hukum. Oleh karena itu, studi tafsir linguistik sangat penting untuk memahami perbedaan pandangan hukum, seperti dalam penafsiran kata “لامستم النساء” terkait pembatal wudhu maupun istilah “قُرُوء” dalam perhitungan iddah. Pendekatan ini membantu menjelaskan variasi hukum yang muncul dan memperkuat dasar hukum dalam fikih.
Analisis Linguistik Huruf Fa’ dan Wawu dalam Ayat Wudhu dan Implikasinya pada Fikih
Dalam QS. Al-Mā’idah (5): 6 Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki."
Imam al-Syafi‘i menafsirkan ayat ini sebagai penunjuk urutan (tartīb) yang wajib dalam wudhu. Beliau memahami huruf "fa’" dalam فَاغْسِلُوا sebagai ta‘qīb, yang berarti menandakan keterurutan beriringan tanpa jeda. Selain itu, penggunaan huruf athaf "wawu" (و) yang menghubungkan bagian-bagian wudhu dianggap membawa makna tartib, sehingga menjadi perintah untuk melakukan wudhu secara berurutan. Pandangan ini diperkuat oleh hadis:
"ابدأوا بما بدأ الله به"
"Mulailah dengan apa yang Allah mulai." (HR An-Nasai)
Dalam konteks lain, Nabi Muhammad ﷺ juga memulai ibadah sa‘i dari Shafa karena dalam Al-Qur’an Shafa disebut terlebih dahulu:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
"Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk dari syiar-syiar Allah." QS. Al-Baqarah (2): 158
Imam Syafii juga menguatkan argumen dengan firman Allah:
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Rukuklah dan sujudlah." QS. Al-Baqarah (2): 43
yang secara jelas menunjukkan bahwa rukuk harus didahulukan daripada sujud. Hadis lain yang mendukung juga adalah:
لا يقبل الله صلاة امرئ حتى يضع الوضوء مواضعه فيغسل وجهه ، ثم يديه ، ثم يمسح رأسه ، ثم يغسل رجليه
"Allah tidak menerima salat seseorang sampai ia meletakkan wudhunya pada tempat-tempatnya: ia mencuci wajahnya, kemudian kedua tangannya, lalu mengusap kepalanya, kemudian mencuci kedua kakinya.” (HR Abi Dawud)
Imam Syafi‘i menekankan bahwa kata "ثم" (kemudian) dalam hadis ini menunjukkan tartīb dan tarrākhī (urutan dan jeda), yang menurut ahli bahasa menandakan keteraturan dan keharusan melakukan wudhu secara bertahap dan berurutan. Sebaliknya, Mazhab Hanafi tidak mewajibkan urutan dalam wudhu. Mereka memahami huruf wawu dalam ayat wudhu sebagai alat penggabung (‘athf li mutlaqi al-jam‘), bukan sebagai penanda urutan (tertib). Mereka berdalil dengan contoh ayat lain:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
"Sesungguhnya sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin." (QS. At-Taubah: 60)
Dalam ayat tersebut, fakir disebut lebih dahulu daripada miskin, tetapi bukan berarti fakir lebih berhak menerima sedekah dibanding miskin. Oleh karena itu, mereka menolak menarik hukum tertib hanya dari urutan lafaz. Lebih jauh, pakar Nahu Sibawaih menegaskan bahwa huruf wawu tidak pernah menunjukkan urutan dalam makna asalnya. Selain itu, mereka memahami huruf "fa’" dalam ayat wudhu sebagai jawab syarat dari lafadz "إذا قمتم الى الصلاة" (ketika kalian berdiri untuk salat), bukan sebagai ‘athaf (penghubung), sehingga tidak menunjukkan urutan atau konotasi perintah tertib.
Perbedaan Tafsir Kata Qurū’ dalam Perhitungan Iddah
Kata qurū’ dalam QS. Al-Baqarah (2): 228 menjadi titik perdebatan di kalangan ulama. Kata ini termasuk kategori الأضداد dalam bahasa Arab klasik, yaitu kata yang memiliki dua makna bertolak belakang tergantung konteks. Qurū’ bisa berarti haid (الحيض) dan bisa juga berarti masa suci (الطهر).
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri mereka selama tiga kali qurū’."
Sebagian ulama, termasuk Imam al-Syafi‘i dan mayoritas dalam mazhabnya, berpendapat bahwa qurū’ berarti masa suci. Sedangkan ulama mazhab Hanafi dan sebagian riwayat Imam Ahmad bin Hanbal memahami qurū’ sebagai haid. Perbedaan ini bukan hanya karena pendekatan fiqih, melainkan juga perbedaan dalam aspek linguistik. Secara bahasa, akar kata قُرْء (quru’) berasal dari kata الجمع (pengumpulan). Contoh penggunaan kata ini dalam bahasa Arab adalah:
قَرَيْتُ الماءَ في الحَوْضِ
“Aku kumpulkan air ke dalam kolam.”
Dari sini muncul penjelasan bahwa darah haid disebut qurū’ karena terkumpul dalam rahim lalu keluar. Namun, karena “pengumpulan” dapat terjadi pada masa haid maupun masa suci, sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata ini bisa merujuk pada keduanya. Abu ‘Ubaid menyatakan:
القُرْء يصلح للحيض والطهر
“Al-Qur'u dapat digunakan untuk makna haid maupun suci.”
Ia juga menambahkan:
وأظنه من أقرأت النجوم إذا غابت
“Saya menduganya dari kata ‘aqra’at an-nujūm’—bintang-bintang telah menghilang.”
Dalam bentuk jamak, al-qur’u memiliki dua bentuk: أقراء (aqrā’) dan قروء (qurū’). Dalam ayat Al-Baqarah digunakan bentuk kedua. Sibawaih sebagai pakar nahwu menyatakan bahwa bentuk qurū’ sudah mencukupi dan tidak mengenal bentuk aqrā’ dan aqru’. Dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ, kata qurū’ juga muncul dalam bentuk jamak:
دَعِيِ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ
“Tinggalkan salat pada hari-hari haidmu.”
Pendapat qurū’ berarti haid dinisbatkan kepada sahabat besar seperti Abū Bakr, ‘Umar, ‘Uthmān, ‘Alī, Ibn ‘Abbās, serta ulama seperti Ats-Tsaurī, al-Awzā‘ī, dan al-‘Anbarī. Mereka berargumen bahwa makna haid lebih cocok, karena tujuan utama iddah adalah memastikan rahim bersih dari kehamilan, yang hanya bisa dipastikan dengan datangnya haid. Dalil lain yang mereka gunakan adalah hadis:
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَسْتَبْرِئَ بِحَيْضَةٍ
“Perempuan hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan, dan perempuan yang tidak hamil tidak boleh digauli hingga istibra’ dengan satu kali haid.” (HR Abu Dawud)
Jika istibra’ hanya diketahui lewat haid, maka masa iddah juga harus dihitung berdasarkan haid, bukan masa suci. Sebaliknya, kelompok ulama yang memahami qurū’ sebagai masa suci merujuk pada ayat:
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Maka ceraikanlah mereka pada masa iddah mereka.” (QS. At-Talaq: 1)
Ayat ini menunjukkan bahwa talak harus dijatuhkan pada masa suci, yang termasuk dalam perhitungan iddah. Hal ini diperkuat oleh kaidah bahasa dalam ayat lain, misalnya:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Kami tegakkan timbangan keadilan pada hari kiamat.” (QS. Al-Anbiya’: 47)
Frasa li yaumil-qiyāmah dalam ayat ini menunjukkan bahwa penegakan timbangan terjadi pada hari itu, bukan sebelum atau sesudahnya. Maka, dalam konteks talak dan iddah, masa yang dihitung adalah masa yang sah untuk dijadikan bagian dari iddah, yaitu masa suci, bukan haid. Imam Ibn ‘Abd al-Barr menyebut bahwa Imam Aḥmad pada akhirnya kembali kepada pendapat bahwa qurū’ adalah masa suci. Hal ini berdasarkan riwayat dari al-Atsram:
رأيت الأحاديث عمن قال: القروء الحيض تختلف، والأحاديث عمن قال: إنه أحق بها حتى تدخل في الحيضة الثالثة أحاديثها صحاح وقوية.
“Saya melihat bahwa hadis-hadis yang mengatakan qurū’ adalah haid itu beragam, sedangkan hadis-hadis yang menyebut bahwa perempuan masih berhak dirujuk sampai masuk haid ketiga lebih sahih dan kuat.”
Dalam praktik fiqih, pendapat ini berdampak pada perhitungan iddah. Misalnya, menurut mazhab Syafi‘i, jika seorang perempuan ditalak setelah suci dari haid, maka masa suci itu langsung dihitung sebagai satu quru'. Sehingga, dua masa suci berikutnya cukup untuk menyempurnakan tiga qurū’.
Tafsir Linguistik dan Implikasi Fiqih Ayat Lamastum An-Nisā’ tentang Pembatalan Wudhu
Dampak penafsiran linguistik juga terlihat dalam penafsiran kata "لامستم النساء" dalam ayat:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“…atau kalian menyentuh perempuan.” (QS. al-Mā’idah: 6 dan QS. al-Nisā’: 43)
Ayat ini menjadi salah satu titik perbedaan dalam hukum fiqih terkait pembatal wudhu. Perbedaan tersebut lahir dari perbedaan dalam memahami makna kata lamasa atau lāmastum, apakah ia bermakna menyentuh secara fisik atau berhubungan intim (jima‘). Mazhab Syāfi‘ī berpendapat bahwa menyentuh wanita non-maḥram, meskipun tanpa syahwat dapat membatalkan wudhu. Dalil utama mereka adalah ayat di atas, di mana kata lāmastum di maknai secara harfiah, yaitu menyentuh kulit wanita dengan tangan. Pemaknaan ini diperkuat oleh bacaan (qirā’ah) yang sahih dari Al-Qur’an:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Qirā’ah ini menggunakan bentuk "lāmastum" (dengan tambahan alif), yang dalam kaidah bahasa Arab mengesankan adanya interaksi fisik antara dua pihak, yakni antara suami dan istri atau antara laki-laki dan perempuan (non mahram). Karena itu, menurut mereka, cukup dengan menyentuh kulit wanita saja, meski tanpa syahwat, sudah termasuk dalam makna ayat ini. Sebagian ulama Syāfi‘iyyah juga menggabungkan makna antara dua bentuk bacaan: lamastum dan lāmastum, dan menyimpulkan bahwa keduanya menunjuk pada tindakan menyentuh secara fisik, bukan hubungan intim. Namun, tidak semua ulama sepakat dengan pandangan ini. Banyak ulama seperti kalangan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak otomatis membatalkan wudhu, selama tidak ada keluarnya sesuatu (seperti mani). Menurut mereka, kata lamasa atau lāmastum dalam ayat tersebut tidak bermakna harfiah, melainkan makna majazi, yaitu jima‘ (hubungan badan). Salah satu qarinah (petunjuk konteks) yang menunjukkan makna majazi adalah hadis-hadis dari ‘Ā’isyah رضي الله عنها. Dalam sebuah riwayat, ia berkata:
كنت أنام بين يدي النبي ﷺ ورجلاي في قبلته، فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي، فإذا قام بسطتهما
“Aku biasa tidur di depan Nabi ﷺ dengan kakiku mengarah ke arah sujud beliau. Jika beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan isyarat), maka aku menarik kakiku. Jika beliau berdiri, aku meluruskannya kembali.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa sentuhan fisik antara Nabi Muhammad Saw dan istrinya tidak membatalkan salat, apalagi wudhu. Jika menyentuh kulit wanita secara langsung bisa membatalkan wudhu, tentu Nabi Muhammad ﷺ akan berhati-hati atau menjelaskan hukum tersebut kepada umatnya. Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar menyebut dua kemungkinan untuk menafsirkan hadis ini:
1. Mungkin ada penghalang (ḥā’il) antara kulit Nabi dan ‘Ā’isyah.
2. Atau bisa jadi hukum ini khusus berlaku untuk Nabi Muhammad ﷺ (takhsis).
Namun, Imam As Shan'ani menilai bahwa kedua alasan ini lemah, dan bertentangan dengan zahir hadis yang menyiratkan bahwa tidak ada pembatas antara mereka, dan bahwa hukum ini berlaku umum, bukan khusus untuk Nabi Muhammad ﷺ. Dalam sebuah riwayat, Ibnu abbas secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lamasa adalah jima‘. Bahkan disebutkan bahwa beliau meletakkan kedua jarinya di telinga dan berkata:
ألا وهو النكاح
“Ketahuilah, yang dimaksud adalah hubungan intim (nikah).”
Pendapat ini didukung pula oleh sebagian ulama fiqih yang menegaskan bahwa menyentuh (lamas) secara lahiriah tidak membatalkan wudhu kecuali jika disertai dengan syahwat atau keluar sesuatu dari qubul.
Kesimpulan
Tafsir linguistik terhadap ayat dan hadis berperan penting dalam membentuk perbedaan hukum fiqh di kalangan ulama. Perbedaan makna kata dan struktur bahasa, seperti pada kata "لامستم النساء" dalam ayat pembatal wudhu, memunculkan variasi pendapat antara memahami secara harfiah (menyentuh fisik) atau makna majazi (hubungan intim). Hadis dan qirā’ah Al-Qur’an menjadi dasar utama dalam perbedaan ini. Selain itu, perbedaan tafsir huruf penghubung dalam ayat wudhu dan penafsiran kata qurū’ dalam iddah menunjukkan bagaimana analisis linguistik berdampak langsung pada hukum praktik ibadah. Dengan demikian, tafsir linguistik menjadi kunci memahami perbedaan dan variasi hukum fiqh secara ilmiah dan kontekstual.