Berjabat Tangan dengan non-Mahram Menurut Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer
- Diposting Oleh Admin Web IQT
- Selasa, 24 September 2024
- Dilihat 1354 Kali
Ditulis oleh: M Khofifurrohman
(NIM 24384011017 Mahasiswa Prodi IQT Angkatan 2024)
Berjabat tangan dengan non-mahram sering terjadi ketika silaturahmi antar keluarga di saat momen lebaran, bahkan hal ini sudah hampir menjadi kebiasaan umum, padahal mempunyai hubungan keluarga belum tentu juga berstatus mahram menurut syariat, seperti sepupu, istri nya paman, istri nya saudara kandung dan lain sebagainya.
Dalam masalah ini, ada dua poin pembahasan yang akan diulas secara ringkas:
1. Laki-laki berjabat tangan dengan perempuan yang masih muda.
2. Laki-laki berjabat tangan dengan perempuan yang sudah tua.
Para ulama empat mazhab (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa berjabat tangan dengan non-mahram atau perempuan yang masih muda tidak diperbolehkan, baik timbul syahwat (kecondongan hati) atau tidak. Mereka beralasan bahwa berjabat tangan dengan perempuan muda akan menimbulkan fitnah dan sangat rentan menimbulkan syahwat. Maksud dari tanpa ada syahwat seperti halnya kita memandang wanita atau pria non-mahram seolah sama saja dengan memandang putra-putri atau saudara kandung kita. Sedangkan saat timbul syahwat adalah ketika ada kecondongan atau bergeraknya hati ketika berjabat tangan. Indikator timbulnya syahwat dihitung dari ‘urf atau kebiasaan umum, sehingga meskipun yang menyentuh tidak syahwat, tapi secara ‘urf menimbulkan syahwat, maka tidak diperbolehkan.
Merujuk pada sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan an-NasÄ’Ä dan Ibn MÄjah berbunyi «Ø¥Ù†ÙŠ لا أصاÙØ Ø§Ù„Ù†Ø³Ø§Ø¡» (Saya tidak pernah berjabat tangan dengan perempuan). Menurut Imam as-SyÄfi'Ä, jika berjabat tangan dengan penghalang (kaos tangan, misalnya) maka diperbolehkan, dengan syarat tidak timbul syahwat dan aman fitnah, namun menurut Imam Hanbali, meskipun memakai penghalang tetap tidak diperbolehkan (Haram). Imam Hanafi dan Hanbali memperbolehkan berjabat tangan dengan perempuan yang sudah tua renta yang secara umum tidak akan menimbulkan syahwat, mereka beralasan bahwa, perempuan yang sudah tua (العجوز التي لا تشتهى), bisa dipastikan aman dari fitnah.
Namun ada ulama kontemporer yaitu Syaikh YÅ«suf al-Qorá¸ÄwÄ, yang tidak begitu sepakat jika berjabat tangan dengan perempuan yang masih muda mutlak tidak diperbolehkan, karena dawuh beliau, dalam Al-Qur’an dan hadis memang tidak ada nas yang secara eksplisit mengharamkan berjabat tangan dengan non mahram.
Berikut tanggapan beliau terhadap dalil para ulama' yang mengharamkan secara mutlak:
1. mengenai hadis Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan perempuan, tidak bisa langsung kita klaim bahwa hadis itu menunjukkan hukum haram, karena bisa jadi Rasulullah tidak berjabat tangan karena makruh, atau khilaf al-aulÄ (menyalahi keutamaan), atau itu merupakan kekhususan beliau, atau karna memang beliau tidak begitu suka, seperti beliau mengizinkan (memperbolehkan) sahabat KhÄlid bin WÄlid mengonsumsi á¸abb (kadal gurun Arab dengan nama latin uromastyx aegyptia), namun beliau tidak ikut mengonsumsi. Artinya, jika ingin mengharamkan secara mutlak terhadap suatu hal, harus ada dalil lain yang lebih lugas penjelasannya.
2. Mengenai hadis Rasulullah saw. yang beredaksi:
"لأن يطعن ÙÙŠ رأس Ø£Øدكم بمخيط من Øديد خير له من أن يمس امرأة لا تØÙ„ له"
Artinya: "Salah satu seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi, lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." Hadis ini juga tidak bisa menjadi dalil utama karena para ulama hadis tidak ada yang menjelaskan bahwa hadis ini sahih, kecuali al-Munżir atau al-Histami yang mengatakan bahwa semua perawi nya ṡiqoh (kredibel), namun satu pernyataan ini tidak bisa langsung menjadi landasan bahwa ini hadis sahih, karena bisa saja ada yang terputus/inqiá¹Ä', atau ada kekurangan (‘illat) yang samar. Buktinya para ahli diwan tidak mengeluarkan hadis ini dan ulama salaf juga tidak menjadikan hadis ini dalil utama dalam mengharamkan berjabat tangan dengan non-mahram.
2. Ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama' Malikiyyah mengatakan bahwa, pengharaman terhadap suatu hal tidak bisa diklaim kecuali dengan dalil qaá¹'iy seperti Al-Qur'an dan hadis mutawatir.
3. Dalam kalimat "يمس امرأة لا تØÙ„ له" belum tentu menunjukkan memegang kulit dengan kulit yang lain tanpa syahwat. Karena dalam Al-Qur'an dan hadis, lafadz "المس" bisa menunjukkan dua makna: pertama, sebagai kinayah dari jima' (berhubungan badan), seperti penafsiran Ibnu ‘AbbÄs terhadap ayat "Ø£ÙŽÙˆÛ¡ لَـٰمَسۡتÙم٠ٱلنّÙسَاۤءَ" [Surat An-Nisa': 43]. Ibnu ‘AbbÄs mengatakan bahwa lafal "لمس والملامسة والمس كناية عن الجماع" "Lamsu, mulamasah, dan al-massu merupakan kinayah atau secara tidak langsung menunjukkan arti jima'. Pendapat ini diperkuat dengan ayat 237 dari surah al-Baqarah: "ÙˆÙŽØ¥ÙÙ† طَلَّقْتÙÙ…ÙوهÙنَّ Ù…ÙÙ† قَبْل٠أَن تَمَسّÙوهÙنَّ وَقَدْ ÙَرَضْتÙمْ Ù„ÙŽÙ‡Ùنَّ ÙَرÙيضَةً ÙÙŽÙ†ÙصْÙ٠مَا ÙَرَضْتÙمْ". Makna kedua dari al-mass adalah hal yang mengantarkan jimÄ’ (مقدمات الجماع) seperti ciuman, pelukan, saling pegang, menyentuh dan lain-lain. Seperti dawuhnya Sayyidah ‘Aisyah:
عن عائشة قالت ما كان يوم أو قل يوم إلا وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يطو٠علينا جميعا Ùيقبل ويلمس ما دون الوقاع، Ùاذا جاء الى التي هي يومها ثبت عندها
Artinya: Setiap hari Rasulullah saw. mengelilingi kami semua (istri2 beliau) dan mendekat kepada seluruh isterinya dengan mencium dan menyentuh tanpa bersetubuh, dan ketika sampai ke tempat istri beliau yang mempunyai bagian, beliau tetap bersama nya.
Kesimpulan dari beberapa tanggapan di atas, Syaikh Yusuf al-Qhará¸ÄwÄ menegaskan bahwa :
1. Berjabat tangan dengan non-mahram (perempuan yang masih muda) hukumnya boleh jika tidak menimbulkan syahwat dari salah satunya dan aman atau tidak khawatir terjadi fitnah.
2. Sebaiknya berjabat tangan dengan non-mahram dilakukan saat ada hajat, atau ketika berhadapan dengan family dan kerabat seperti sepupu, istri paman dan lain sebagainya. Sebaiknya, kita tidak memulai untuk berjabat tangan non-mahram, dengan tujuan kehati-hatian, dan ittibÄ' kepada Nabi Muhammad saw.
Wallahu a'lam.