Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 87830141747

Email

prodiiqt@iainmadura.ac.id

Syaikh ʻAli Jumʻah: Haram Hukumnya Memaksa Anak Menikah

  • Diposting Oleh Admin Web IQT
  • Selasa, 24 September 2024
  • Dilihat 673 Kali
Bagikan ke

Oleh: Muhimmatus Sa'adah*

Perempuan selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, selama kehidupan di dunia ini berlangsung, perempuan seakan tidak pernah merdeka. Ia selalu berjuang dan berjuang untuk membebaskan diri dari jajahan kemaskulinan kaum laki-laki.

Menikah dengan orang yang kita suka dan kita cinta adalah idaman semua orang. Namun apalah daya kita jika tak mendapat restu orang tua. Rumah tangga indah bersamanya menjadi pupus seketika sebab terhalang pangestu keduanya.

Sebagai umat Islam kita meyakini bahwa menikah adalah sunah nabi dan sebagai bentuk penyempurna agama. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: إذا تزوج العبد فقد كمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي.

Rasulullah saw. bersabda: Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna sebagian agamanya maka bertakwalah kepada Allah untuk sebagian lainnya.

Pernikahan merupakan salah satu ibadah terpanjang dan paling senang untuk dilakukan dengan banyaknya bonus kenikmatan. Pernikahan kerap kali disebut sebagai potongan kenikmatan surga ataupun sepenggal surga yang tercecer ke bumi.

Perjodohan dan Perceraian

Para orang tua pun ikut andil untuk segera menikahkan anaknya. Mereka khawatir anaknya akan menyandang label “tidak laku” dari orang-orang sekitar. Ditambah lagi dengan adanya mindset “Jika menolak lamaran seorang pria, maka nanti jodohnya akan terhambat”.

Banyak kita temukan orang tua yang menjodohkan anaknya dengan seseorang yang dianggapnya pantas dan baik. Parahnya, terkadang orang tua terlalu memaksa pada anak tanpa mempertimbangkan pendapat sang anak.

Tak jarang kita temukan pernikahan yang diawali dengan paksaan malah berakhir pilu. Pernikahan bahagia yang diidamkan terpaksa harus terkubur, dan sebaliknya pernikahan malah berujung nestapa.

Melansir data dari Kompas.com, kasus perceraian di Indonesia tahun 2023 mencapai angka 463.654. Angka yang fantastis, padahal perceraian adalah salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh Allah Swt. Seperti yang termaktub dalam hadis berikut:

لَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : أَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَى اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ

Rasulullah ï·º bersabda: “Perkara halal yang sangat dibenci ï·» ialah talak (cerai).”

Tujuan Utama Pernikahan

Dalam QS. Ar-Rūm (30): 21 Allah menjelaskan bahwasanya tujuan pernikahan adalah untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa raḥmah.

وَمِنْ اٰيٰتِهٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Dalam tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan bahwa ayat tersebut adalah perintah untuk menikah, larangan melakukan perceraian jika bukan dalam keadaan terpaksa, dan larangan melakukan zina. Allah Swt. telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk termulia dan bersopan-santun serta memiliki akhlak yang tinggi. Oleh karena itu hendaklah seseorang manusia menghargai dirinya.

Fatwa Syaikh ʻAli Jumʻah

Syaikh Ê»Ali JumÊ»ah, seorang mufti agung dari Mesir angkat bicara mengenai perjodohan yang dipaksakan. Dalam kitabnya yang bertajuk al-Bayān limā Yusygil al-Aẓhān, ia menegaskan hukum pernikahan yang dijalankan tidak atas dasar rida sang anak.  

إِنَّ إِجْبَارَاَحَدِأَحَدِالْوالِدَيْنِ إِبْنَتَهُ عَلَى الزَّوَاجِ بِمَنْ لاَتُرِيْدُمُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ وَتَعْد عَلَى حُقُوْقِ الأَخَرِيْنَ

Sungguh pemaksaan salah satu orang tua kepada putrinya untuk menikah dengan orang yang tidak ia inginkan adalah diharamkan menurut syariat, karena hal itu adalah perbuatan zalim dan melewati batas pada hak-hak orang lain.

Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa raḥmah sebagaimana termaktub dalam QS. Ar-Rūm (30): 21. Jika hal tersebut tidak tercapai dalam sebuah pernikahan yang diawali dengan ketidakridaan anak yang dijodohkan, maka pernikahan yang terjadi dihukumi haram.

Pemahaman Baru terhadap Al-Qur’an

Pemahaman terhadap Al-Qur’an di masa kontemporer tidak bisa disamakan dengan pemahaman Al-Qur’an di masa Nabi ataupun masa tabiin. Perkembangan zaman menjadi hal yang niscaya, hal ini tidak lepas dari upaya manusia yang akan selalu membuat inovasi-inovasi baru.

Jika kita perhatikan dengan jeli, akan tampak perbedaan signifikan antara kehidupan di masa klasik dengan masa sekarang. Problem yang terjadi pun berbeda sehingga solusi yang dibutuhkan juga berbeda.

Dimotori oleh Abduh di Mesir pada tahun1894, pemahaman Al-Qur’an yang “baru” dilakukan. Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an harus bisa memberikan solusi kepada masyarakat Islam di masa kini. Yang terjadi di masa lalu, biarlah menjadi masa lalu. Kita hidup di masa sekarang yang situasi dan kondisinya berbeda dengan masa lalu.

Jika umat Islam tetap mengikuti jalan yang ada di masa lalu dan menolak segala hal baru, maka umat Islam akan terkungkung dalam kejumudan yang nyata. Penafsiran terhadap QS. Ar-RÅ«m (30): 21, tidak akan tercapai makna yang terkandung di dalamnya jika hanya dipahami secara tekstualis.

Haramnya Pernikahan

Banyaknya kasus perceraian yang secara tidak langsung menunjukkan tidak tercapainya sakinah, mawaddah, wa raḥmah. Padahal dalam QS. Ar-Rūm (30): 21, menikah bertujuan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa raḥmah.

Pernikahan yang dihukumi haram, saya kira bukan sesuatu yang eksesif. Sebab, melihat pada kondisi di masa sekarang banyak pernikahan yang dilakukan dengan cara pemaksaan. Pernikahan tersebut pada akhirnya menjadi dunia yang menakutkan, bahkan berujung pada perceraian.

Setiap orang memiliki hak untuk menentukan arah hidupnya termasuk hak memilih pasangan hidup. Oleh karena itu, wajar jika Syaikh Ê»Ali JumÊ»ah berfatwa haram terhadap pemaksaan dalam pernikahan. Lebih lanjut ia menyatakan, tugas orang tua pada anaknya sebatas nasihat, bimbingan, dan arahan.  

فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثْلُ فِي النَّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْإِرْشَادِ وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يُجْبِرَ أَوْلَادَهُمَا ذُكُورًا كَانَ أَوْ إِنَاثًا عَلَى زَوَاجٍ لَا يَرْضَوْنَهُ

Maka peran kedua orang tua dalam pernikahan anaknya hanya sebatas nasihat, bimbingan dan arahan, namun tidak boleh bagi keduanya untuk memaksa anaknya; baik yang laki-laki maupun perempuan untuk menikahi orang yang tidak ia senangi.” [Muhimmah]

 

*Penulis, Muhimmatus Sa'adah, adalah Mahasiswi Prodi IQT semester 7. Saat ini sedang menunggu kelulusan bersamaan dengan terbitnya Artikel Sinta-3 di Jurnal Maghza sebagai tugas akhir pengganti skripsi. Akun media sosial Muhimmatus Sa'adah FBIG, dan X