Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 87830141747

Email

prodiiqt@iainmadura.ac.id

Peran Perempuan dalam Pemerintahan Perspektif Al-Qur'an dan Hadis

  • Diposting Oleh Admin Web IQT
  • Rabu, 6 November 2024
  • Dilihat 273 Kali
Bagikan ke

Ditulis oleh: M Khofifurrohman

(NIM 24384011017 Mahasiswa Prodi IQT Angkatan 2024)

 

 

 

Kepemimpinan perempuan adalah salah satu isu penting yang menjadi perdebatan menarik dalam panggung politik, terutama di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dalam realitas sehari-hari, perempuan kini banyak berkontribusi dalam posisi strategis, baik di pemerintahan, organisasi, maupun komunitas tertentu.

 

Dalam prinsip demokrasi, perempuan diperbolehkan dan sah diangkat sebagai pemimpin. Karena itu, tidak heran jika banyak tokoh perempuan yang mencalonkan diri dalam berbagai kontestasi politik, seperti pemilihan kepala desa, wali kota, bahkan gubernur. Namun, perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan tidak sesederhana itu, sebab masih banyak hambatan sistemik dan keagamaan yang menghambat perempuan untuk menduduki posisi kepemimpinan. Yang dimaksud dengan pemimpin dalam hal ini mencakup berbagai bentuk, mulai dari jabatan pemerintahan, komunitas agama, hingga organisasi kemasyarakatan.

 

Perspektif Al-Qur'an tentang Kepemimpinan Perempuan

 

Dalam perspektif Islam, terdapat ayat yang sering menjadi rujukan bagi sebagian ulama klasik yang melarang kepemimpinan perempuan, yaitu:

 

"  Ù±Ù„رِّجَالُ قَوَّ ٰ⁠مُونَ عَلَى ٱلنِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضࣲ وَبِمَاۤ أَنفَقُوا۟ مِنۡ أَمۡوَ ٰ⁠لِهِمۡۚ..."

(QS. An-Nisa’ 4:34)

 

Artinya, “Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…"

 

Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat ini dengan menunjukkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, sebab Allah SWT telah memberikan kelebihan pada laki-laki dalam hal kekuatan fisik, pendidikan, serta kewajiban menafkahi. Ibnu Katsir menyatakan dalam kitabnya bahwa kata "qawwam" berarti pemimpin, yang ditunjukkan kepada laki-laki. Menurut beliau, hal ini karena dua alasan utama: pertama, kelebihan yang diberikan kepada laki-laki, dan kedua, kewajiban mereka memberi nafkah. Dengan demikian, menurut pandangan beliau, kepemimpinan adalah mutlak berada di tangan laki-laki. Hal ini juga diterapkan dalam aspek kenabian dan raja (kepemimpinan pemerintahan).

 

Perspektif Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan

 

Selain ayat Al-Qur'an, terdapat hadis yang sering dijadikan landasan dalam pembahasan kepemimpinan perempuan. Hadis ini diriwayatkan oleh Utsman bin Haitsam dari Abu Bakrah dan berbunyi:

 

 "لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ، وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً"

(HR. Bukhari No. 4425)

 

Artinya, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”

 

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan tercantum dalam Kitab al-Fitan (bagian pembahasan tentang konflik atau fitnah). Selain dalam Shahih Al-Bukhari, hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan At-Tirmidzi, Musnad At-Thabarani, dan Sunan An-Nasai. Para ulama ahli hadis sepakat bahwa hadis ini berkualitas sahih karena perawinya memenuhi syarat hadis sahih, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Taqrib al-Tahdzib.

 

Asbabul wurud atau sebab Nabi SAW mengucapkan hadis ini adalah ketika terjadi konflik politik antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang memicu Perang Jamal pada tahun 36 H atau 656 M. Posisi politik Abu Bakrah sendiri tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan ia mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi SAW tersebut.

 

Para ulama pensyarah hadis menjelaskan peristiwa yang menyebabkan Nabi SAW bersabda demikian. Seperti penjelasan Imam Al-Qasthalani dalam Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari dan Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, kronologi peristiwa ini terjadi di Persia. Saat itu, kerajaan Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin setelah terjadinya konflik internal di istana. Namun, kepemimpinan putri Kisra tidak sukses, dan hal ini dianggap sebagian ulama sebagai tanda tidak berhasilnya suatu kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan.

 

Syekh Muhammad Al-Aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mengutip pendapat mayoritas ulama (jumhur) tentang istinbath (pemahaman hukum) dari hadis tersebut. Menurut mayoritas ulama, perempuan tidak dapat menjadi qadhi (hakim), meski ada pendapat minoritas di kalangan mazhab Malikiyah yang memperbolehkannya. Pendapat serupa juga terdapat dalam syarah (penjelasan) kitab Shahih Al-Bukhari lainnya, seperti Irsyadus Sari karya Imam Al-Qasthalani maupun Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dalam hal ini, perempuan tidak hanya dilarang menjadi qadhi, tetapi juga dalam urusan persaksian dan imamah (kepemimpinan) mereka dibatasi.

 

Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir menyatakan alasan lain yang melatarbelakangi hadis ini, yakni karena perempuan dianggap lebih lemah dalam berpikir dan sebagai aurat yang perlu dilindungi. Sehingga, pemimpin yang dituntut sering tampil dan berbaur dalam masyarakat dianggap kurang sesuai jika dijabat oleh perempuan.

 

Kesimpulan

 

Pandangan ulama klasik yang dominan adalah ketidaklayakan perempuan sebagai pemimpin, baik dalam hal persaksian, qadhi, maupun kepemimpinan pemerintahan. Namun, penting untuk dicatat bahwa pandangan dan larangan ini tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budaya pada saat keputusan tersebut diambil, di mana masih sangat sedikit perempuan yang terlibat dalam hal kepemimpinan.

 

Dalam perkembangan zaman, pandangan ini kemudian mendapat interpretasi ulang dari ulama-ulama kontemporer yang mempertimbangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan serta partisipasi perempuan dalam berbagai bidang yang telah meluas di era modern. Beberapa ulama kontemporer memperbolehkan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan, dengan catatan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dalam Islam dan kemaslahatan umat.