Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 87830141747

Email

prodiiqt@iainmadura.ac.id

Mengenal Hermeneutika Hassan Hanafi dalam Penafsiran Al-Qur’an

  • Diposting Oleh Admin Web IQT
  • Sabtu, 25 Januari 2025
  • Dilihat 249 Kali
Bagikan ke

Ditulis oleh: Imroatul Hasanah

(NIM 21384012043 Mahasiswa Prodi IQT Angkatan 2021)

 

Nama lengkapnya adalah Hassan Hanafi Hasanain Ahmad Hasanain Al-Maghribi. Ia berkebangsaan Mesir, lahir pada 13 Februari 1935 lalu wafat pada 21 Oktober 2021. Saat berumur empat tahun, Hanafi memulai pendidikannya dengan belajar di Madrasah Asy-Syaikh Sayyid, Kuttab. Di sana, ia menghafal Al-Qur'an dan belajar tata bahasa Arab. Memasuki umur lima tahun, Hanafi dimasukkan ke sekolah dasar bernama Madrasah Awwaliyah Sulayman Jawish yang kemudian pindah ke Madrasah Ibtidaiyah Al-Salahdar. Di sana, Hanafi bisa belajar beberapa bahasa asing dan berkesempatan melanjutkan ke sekolah menengah atas umum lalu ke universitas umum.

Hanafi lebih dikenal sebagai filsuf daripada hermeneut, namun karya-karyanya, terutama trilogi disertasinya, menunjukkan bahwa ia juga merupakan tokoh yang berpengaruh dalam bidang hermeneutika. Pemikirannya tentang hermeneutika pertama kali diungkapkan dalam karyanya Religious Dialogue and Revolution. Ia memandang hermeneutika sebagai aksiomatika, yaitu sebagai ilmu yang bersifat universal, formal, dan objektif dalam memahami teks-teks Islam. Hermeneutika Al-Qur'an yang dirumuskan oleh Hanafi didasarkan pada dua agenda utama, yaitu masalah metodologis dan masalah filosofis. Secara metodologis, Hanafi memperkenalkan inovasi-inovasi baru dalam penafsiran Al-Qur'an, sementara secara filosofis, ia bertindak sebagai komentator, kritikus, dan dekonstruktor terhadap teori-teori lama. Bagi Hanafi, hermeneutika bukan sekadar teori interpretasi teks, melainkan sebuah ilmu yang mampu menjelaskan wahyu Tuhan dari huruf menjadi realitas, dari logis menjadi praktis, dari kata menjadi dunia, dan dari pemikiran Tuhan hingga menjadi kehidupan nyata. Semua ini harus dicapai melalui tahapan kesadaran atau tahapan kritik.

Hanafi berpendapat bahwa hermeneutika tidak hanya membahas tentang teknik penafsiran, seperti  hermeneutika metodis, dan juga bukan semata-mata tentang esensi peristiwa penafsiran, seperti hermeneutika filosofis. Menurutnya, hermeneutika harus mempertimbangkan kepentingan praktis dan historis dari teks. Untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh, langkah pertama adalah memastikan keaslian teks tersebut dengan melakukan kritik sejarah. Barulah setelah itu, hermeneutika dapat diterapkan. Hassan Hanafi menerapkan Hermeneutika emansipatoris dalam penafsiran Al-Qur’an. Karena Hermeneutika emansipatoris merupakan ilmu untuk memahami hubungan antara kesadaran dan objeknya, dalam hal ini adalah kitab suci. Ada 3 tahapan kesadaran, yaitu kritik historis, kritik eidetik, dan kritik praktis.

  1. Kritik Historis

Kritik historis berfungsi untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan oleh Nabi. Menurutnya, prinsip-prinsip kritik sejarah meliputi tiga hal: (1) Teks harus ditulis secara in verbatim, yaitu teks harus ditulis persis seperti kata-kata yang pertama kali diucapkan tanpa perubahan pada lafaznya; (2) Teks harus diterima dalam bentuk yang utuh, tanpa ada pengurangan atau penambahan; (3) Nabi atau malaikat hanya berperan sebagai penyampai pesan Tuhan secara in verbatim kepada manusia. Hal ini berarti bahwa hermeneutika tidak membahas wahyu sebelum diturunkan kepada Nabi. Teks yang bersifat in verbatim adalah teks yang tidak mengalami perubahan selama masa pengalihan secara lisan. Sebaliknya, teks dianggap tidak in verbatim jika terdapat perubahan atau kehilangan lafaz, meskipun hanya sedikit. Teks yang asli dan sempurna, menurut Hanafi, adalah teks yang tidak mengalami perubahan, dan satu-satunya teks suci yang asli adalah al-Qur'an.

  1. kritik eidetik

Proses selanjutnya yang harus dilakukan oleh mufassir adalah menginterpretasi teks, yang secara teknis dikenal sebagai eidetik. Namun, Hasan Hanafi belum memberikan definisi yang jelas tentang apa itu eidetik. Kritik eidetik ini berfungsi untuk menafsirkan teks setelah keabsahannya dikonfirmasi oleh kritik historis. Dalam proses ini, Hanafi menetapkan dua syarat utama. Pertama, penafsir tidak boleh terikat pada dogma tertentu; ia harus membebaskan diri dari dogma tersebut, kecuali sebagai alat ukur dalam analisis bahasa. Kedua, setiap bagian teks harus dipahami secara menyeluruh dan independen, mengingat teks suci diturunkan secara bertahap dan berkembang seiring waktu. Hanafi menjelaskan bahwa dalam proses ini ada beberapa tahapan analisis, yaitu analisis bahasa, analisis sejarah, dan tahap generalisasi. Dalam analisis bahasa, penafsir harus menggunakan alat-alat linguistik dan sintaksis untuk memahami teks suci. Dalam analisis sejarah, penafsir harus mempertimbangkan konteks sosio-historis yang melingkupi kelahiran teks. Pada tahap generalisasi, penafsir harus menemukan makna teks pada saat diturunkan dan dalam konteks sejarahnya, sehingga dapat memperoleh pemahaman baru yang relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat saat ini.

  1. Kritik Praktis

Tahapan ini adalah tahap akhir dalam hermeneutika emansipatoris. Pada tahap ini, yang paling penting adalah bagaimana hasil penafsiran dapat diterapkan dalam kehidupan manusia dan memberikan dorongan untuk kemajuan serta kesempurnaan hidup manusia. Tanpa tahap ketiga ini, sehebat apapun hasil interpretasi, tetap tidak akan memiliki arti. Sebab, inilah tujuan utama dari diturunkannya teks suci. Hermeneutika emansipatoris sendiri merupakan pendekatan untuk memahami Al-Qur’an dengan tujuan praktis yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pada tahap eidetis ini, generalisasi memungkinkan kritik praksis, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pembacaan Al-Quran dengan tujuan praktis dikenal sebagai hermeneutika kritik emansipatoris. Teori ini berfokus pada perubahan masyarakat. Akibatnya, kebenaran teoritis tidak diperoleh dari argumen tertentu; sebaliknya, itu diperoleh dari kemampuan untuk memotivasi orang untuk bertindak.

Dengan demikian, akhir dari proses hermeneutika ini adalah bagaimana hasil penafsiran ini dapat diterapkan dalam kehidupan manusia dan membantu kemajuan dan kesempurnaan mereka. Jika tahap ketiga tidak berhasil, hasil interpretasi tidak dapat dianggap sempurna atau berhasil tanpa memberikan dampak negatif pada kehidupan manusia. Karena itu, teks suci Al-Quran memiliki maqashid atau tujuan akhir.
Ini menunjukkan bahwa hermeneutika kritis emanispatoris berfungsi sebagai sarana jihad untuk memerangi berbagai macam sekat dan eksploitasi yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya, ini mengarah pada kesadaran manusia.

Hasan Hanafi berharap dari tiga tahap analisis di atas bahwa hermeneutika kritis emansipatoris dapat bersifat teoritik dan praktis-aplikatif. Dia ingin menjadi analisis filologis murni terhadap teks yang tidak akan membahas masalah prinsipil dalam penafsiran (ekstrovert). Selain itu, secara filosofis digunakan untuk menunjukkan masalah yang berkaitan dengan pembacaan yang menyerap teks ke dalam diskusinya sendiri (introvert). Pada akhirnya, setiap hasil penafsiran memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupan dan peradaban manusia. Bukankah itu maksud dari teks Al-Quran? Wallahu A'lam.